SYEH MAS'UD MEMBURU KITAB


Sabtu, 18 September
1982
Syekh Mas'ud Memburu Kitab
Oleh Abdurrahman Wahid
Kiai
Mas'ud bukan sembarang kiai. Ia diakui amat dalam pengetahuannya di bidang
hukum agama. la menguasal peralatan untuk mengambil keputusan hukum fiqh,
berupa teori hukum (usul fiqh) dan pedoman hukum (qawa'id fiqh). Kedua 'alat'
itu memang harus dikuasai sempurna, kalau ingin menghasilkan
keputusan-keputusan hukum agama yang 'berkualitas tinggi', hingga layak disebut
"syekh".
Di tahun lima puluhan, yang di panggil syekh
adalah Kiai Masduki dari Lasem, karena penguasaannya atas buku teks (kitab)
utama di bidang teori hukum, yaitu kitab Jam'ul Jawami. Tahun-tahun delapan puluhan
ini rupanya sudah ada pengganti Syekh Masduki Lasem, yang sudah sekian tahun
wafat. Dan dia itulah Kiai Mas'ud dari Kawunganten, Purwokerto.
=======================================================
Ket :
Ø Abdurrahman Wahid yang
lebih dikenal dengan sapaan Gus Dur, adalah ulama sekaligus panglima politik
Indonesia. Merupakan presiden RI ke-4
Ø Gus Dur menganggap
Kawunganten daerah dari Purwokerto
=======================================================
Orangnya
sederhana. Dalam pergaulan sangat bersikap rendah hati kepada orang lain,
bahkan kepada yang lebih muda umurnya sekalipun. Suaranya tidak pernah
dikeraskan. Penampilannya adalah penampilan kiai 'kampung' yang tidak ada
'kegagahan'nya sedikit pun. Tetapi, di balik penampilan 'biasa-biasa saja' itu
tersembunyi sesuatu yang tidak disangka-sangka: kekerasan hati untuk melakukan pengejaran,
yang mungkin tidak akan pernah berhenti: mengajar buku-buku teks agama secara
tradisional digunakan di pesantren, atau seharusnya diajarkan di dalamnya.
Mengapa seharusnya? Karena memang belum
diajarkan dan digunakan, karena baru merupakan naskah asli tulisan tangan,
belum diterbitkan. Menurut 'bahasa pesantren', masih berupa naskah yang ‘belum
dicap'.
Pesantren di Indonesia memiliki tradisi
keilmuan agamanya sendiri, yang unik dan menarik untuk dikaji: tradisi mengembangkan
produk ilmiah dalam bentuk karya-karya tulis para ulamanya.
Di sana para kiai dan santri tak hanya
menggantungkan diri pada teks-teks 'negeri Arab' saja -yang sebenarnya juga
datang dari segenap penjuru dunia, seperti Afrika Barat, Asia Tengah dan India.
Dan tradisi pesantren untuk mengembangkan 'karya lokal' ini akhirnya berpuncak
pada munculnya ulama-ulama tangguh, yang diakui secara internasional oleh dunia
Islam di masanya. Misalnya Kiai Nawawi Banten, Kiai Mahfudz Termas (Pacitan),
Kiai Muhtaram Banyumas dan Kiai Ahmad Khatib Padang serta Kiai Abdussamad Palembang.
Semuanya termasuk, kelompok yang menguasai dunia pengetahuan agama di Mekkah selama
sepuluh tahun, di sekitar peralihan dari abad kesembilan batas ke abad kedua
puluh. Sekarang pun masih terasa sisa-sisanya di sana, seperti terbukti atas
pengakuan atas Syekh Yasin Padang yang sudah menaturalisasi diri (tajannus)
menjadi warga Arab Saudi. Karangan-karangannya tersebar di seluruh penjuru
Dunia Islam saat ini.
Dalam tradisi inilah pesantren mengembangkan
dan mengajarkan 'teks-teks lokal' yang dicetak di Kairo atau Mekkah, dan
kembali kemari sebagai 'kitab agama' yang sudah diterima universal oleh dunia Islam.
Terkenal adalah traktat kecil tentang Taubid (teologi) karya Kiai Nawawi Banten,
berjudul Nur AI-Dhalam, yang digunakan sebagai teks dasar di seluruh penjuru
tanah air hingga saat ini. Lebih terkenal lagi dari kiai yang satu ini, yang
bergelar 'pemuka ulama Mekkah dan Madinah' (sayyid 'ulama At-Hijaz), adalah
kumpulan empat puluh hadits pilihannya, berjudul Hadith al-Arba'in, yang digunakan tidak hanya di lingkungan pesantren saja,
bahkan sampai sekolah-sekolah non-agama juga. Muhammadiyah dan NU, SI dan
Perti, lslam Jama'ah dan Persis, sernuanya menggunakannya sebagai teks dasar untuk
tingkat permulaan dalam pengajaran hadits.
Nah, Syekh Mas'ud adalah penerus tradisi ini,
dalam arti sepenuhnya. Tidak hanya menggunakan yang sudah tercetak dan beredar
luas, melainkan juga yang masih dalam bentuk tulisan tangan dan belum 'dicap'.
Apa yang dirasakannya
sebagai tugas adalah mencari karya-karya bermutu tinggi, basil pemikiran para
kiai kita sendiri yang sudah meninggalkan dunia fana ini. Kemudian
dihubungkannya dengan mereka yang berminat menerbitkannya.
Contoh menarik dari kerja ini adalah
'perburuan'nya yang intensif atas sebuah naskah unik karya Kiai lhsan dari
pesantrenJampes (Kediri), yang wafat menjelang Perang Dunia II dan termasuk
'angkatan Kiai Hasyim Asy'ari' dari Tebuireng, Jombang. Kiai lhsan meninggalkan
dua buah karya tulis utama. Sebuah berjudul Siraj al-Talibin, sebuah komentar
atas traktat AI-Ghazali yang sudah seribu tahun umurnya, Minhaj al-Abidin.
Karya dua jilid ini bernilai tinggi, sehingga dijadikan buku wajib untuk kajian
post graduate di AI-Azhar dan beberapa perguruan tinggi lain (ironisnya,justru
tidak dikenal orang-orang IAIN). Dicetak di Cairo, kini digunakan di seluruh
pesantren dengan kajian mendalam atas tasawwuf dan akhlaq. Karya utamanya yang
satu lagi belum sempat diterbitkan, ketika pengarangnya berpulang ke
rahmatullah, berjudul Minhaj al-Imdad, komentar atas traktat lrsyad al- 'lbad.
Sernuanya ada seribu dua puluh tiga lernbar, Gus, kata Kiai Mas'ud kepada saya
sewaktu bertemu baru-baru ini. 'Tulisan tangan dari penulis (katib) yang langsung
didikte Kiai lhsan sendiri. Kabarnya katib itu berasal dari Pecangakan di
Bojonegoro'. la pun meneruskan sejumlah 'data primer' lagi tentang karya 'belum
dicap' tersebut.
Ini ciri karakteristik dari 'pemburu' yang gila dengan buruannya.
Sayangnya, karya tersebut mendadak hilang sejak beberapa tahun yang lalu. Dan
Kiai Mas'ud, karena kecintaannya yang begitu mendalam pada tradisi ke'kitab'-an
kaum pesantren, memburunya dengan tekun, bertanya kian kemari.
"Alhamdulillah, sekarang saya sudah tahu di tangan siapa naskah itu, akan
diikhtiarkan memperolehnya. Syekh Yasin Padang sudah menyatakan kesediaan
mencetaknya di Mekkah,"katanya bersemangat.
"Kegilaan” yang mengesankan: perburuan
yang mengagumkan dari seorang kiai yang amat dalam pengetahuan agamanya, tetapi
tenggelam dalam keasyikan yang tidak disadarinya memiliki arti penting bagi
pengetahuan ke-lslam-an di negeri ini. Mungkin malah di seluruh dunia,
katakanlah dua puluh tahun lagi.
Pada waktu nanti karya
tersebut 'sudah dicap', digunakan sebagai sumber bernilai tinggi di mana-mana,
siapakah yang ingat jasanya melakukan 'pemburuan' itu? Mungkin tidak ada lagi
yang ingat. Dan Kiai Syekh Mas'ud tidak peduli juga. Karena ia sudah puas,
sudah merasa menunaikan tugas yang dipilihnya sendiri.
Tulisan ini merupakan tulisan yang
dibuat oleh Gus Dur untuk Syeh Mas’ud untuk dimuat di Tempo dan Suara Merdeka
tahun 1982. Mereka betemu saat acara NU di Purwokerto. Sehingga Gus Dur
menganggap Syeh Mas’ud berasal dari Kawunganten Purwokerto. Pada saat itu
mereka berbincang-bincang tentang kitab-kitab. Gus Dur bertemu dengan sahabat
lamanya itu dan menganggap Syeh Mas’ud sebagai gurunya.
Syeh Mas’ud merupakan
orang yang sangat ahli dan ‘alim terutama di bidang Fiqih, sehingga disebut
sebagai Syekh. Syeh Mas’ud wafat sekitar bulan Maret 1993 dan dimakamkan di
lIngkungan pondok pesantren Al-Barokah Kawunganten dan merupakan pendiri pondok
tersebut sekitar tahun 1963.
Semoga kita dapat mengambil barokah dari sosok Al-Maghfurlah
“Syeh Mas’ud”.
No comments:
Post a Comment